Sabtu, 16 Januari 2010

ADA APA DENGAN KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA

Perjanjian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sering dituding sebagai biang keladi tidak beresnya perminyakan Indonesia. Ketika Produksi Minyak dan Gas Bumi (Migas) tidak kunjung naik bahkan cenderung terus menurun, maka kehadiran kontraktor asing dianggap sebagai penghambat. Kontraktor juga dinilai suka menggelembungkan biaya operasi yang harus ditanggung pemerintah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya dugaan penyimpangan keuangan sektor Migas Rp. 14,58 triliun. Ada apa dengan kehadiran perusahaan minyak asing ini ?

Industri perminyakan di Indonesia dimulai tahun 1885 dengan penemuan ladang minyak di Telaga Said Sumatera Utara. Disusul penemuan minyak di Ledok Jawa Barat, Muara Enim Sumatera Selatan dan Sanga-Sanga Kalimantan Timur.

Perusahaan minyak di Indonesia diberikan daerah konsesi pertambangan dengan membayar sejumlah royalty kepada pemerintah Hindia Belanda dan mengikuti perjanjian Kontrak Karya (KK) tahun 1899.

Setelah Indonesia merdeka pada 1945 ada keinginan menguasai industri minyak yang ada di dalam negeri. Ini sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Untuk menggantikan perjanjian KK, Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina memperkenalkan perjanjian pengelolaan Migas yang dikenal dengan Production Sharing Contract (PSC) pada tahun 1966. Kini perjanjian ini dikenal dengan nama Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Pada prinsipnya perjanjian ini menetapkan bahwa Pertamina (mewakili pemerintah) sebagai pemegang manajemen operasi. Kontraktor bertanggung jawab kepada Pertamina atas pelaksanaan operasi sesuai program kerja yang disetujui. Kontraktor juga harus menyediakan dana dan teknologi untuk mendapatkan minyak.

Mencari minyak mempunyai tingkat resiko kegagalan tinggi. Kontraktor menanggung semua kerugian atas biaya yang dikeluarkan. Dimulai dari kegiatan penelitian, survei seismik hingga pengeboran eksplorasi. Masa berlakunya perjanjian biasanya 6 hingga 10 tahun untuk eksplorasi dan 30 tahun jika lapangan minyak layak diproduksi secara komersial.

Karena Pertamina sebagai pengatur maka kontraktor berkewajiban menyiapkan program kerja tahunan dan rencana anggaran biaya untuk disetujui oleh Pertamina. Semua peralatan yang dibeli oleh kontraktor menjadi milik Pertamina ketika tidak lagi beroperasi dan meningalkan Indonesia. Disamping itu, semua data operasi juga menjadi milik Pertamina.

Disamping Kontraktor harus mengikuti aturan pajak yang berlaku, kontraktor diharuskan memenuhi kebutuhan enerji dalam negeri biasa disebut Domestic Market Obligation (DMO). Jumlah DMO bisa mencapai sekitar 25% produksi.

COST RECOVERY

Walau kontraktor harus menanggung semua kerugian biaya operasi jika gagal menemukan minyak. Namun jika berhasil maka semua biaya operasi semenjak eksplorasi dan biaya produksi mendapat penggantian (cost recovery). Selanjutnya, hasil bersih dibagi antara kontraktor dan pemerintah.

Mulanya bagi hasil sebesar 60% untuk pemerintah dan 40% untuk kontraktor. Pada perjalanan selanjutnya, bagi hasil lebih menguntungkan pemerintah menjadi 85% untuk pemerintah dan 15% untuk kontraktor.

Jadi kalau sebuah ladang minyak menghasilkan Migas seharga Rp. 1.000 dan biaya operasi sebesar Rp. 400 maka hasil bersih sebesar Rp. 600. Bagian pemerintah sebesar Rp. 510 dan bagian kontraktor Rp. 90 (dalam prakteknya yang dibagi bukan uang tetapi hasil Migas).

Kontraktor bersedia menerima bagian yang sepertinya kecil, karena adanya cost recovery ini. Belakangan, cost recovery dinilai pangkal ketidak beresan yang merugikan keuangan negara dengan cara memark up biaya.

Sebenarnya ada mekanisme supaya cost recovery tidak dipermainkan. Bukankah kontraktor terlebih dahulu diharuskan membuat anggaran biaya. Sebelum tahun 2001, ketika Pertamina masih mengatur kontraktor, ada Bagian yang bernama Badan Pembinaan Pengusaan Kontraktor Asing (BPPKA). Badan inilah yang mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan kegiatan kontraktor baik operasional maupun biaya operasi. Disamping itu, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap kontraktor atas kegiatan operasional dan keuangannya.

Setelah Pertamina tidak lagi mengawasi kontraktor, peran lembaga ini digantikan oleh Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Guna meningkatkan kinerja kontraktor dan mengurangi kemungkinan cost recovery digelembungkan, maka BP Migas harus terus menerus meningkatkan pengawasan (chusnul busro)

http://chbusro.blogspot.com/2009_05_01_archive.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar