Jumat, 08 Januari 2010

Kompleksitas Kilang : Tantangan Pertamina ke Depan

Desain kilang-kilang Pertamina banyak yang sudah out of date. Bahkan, sebagian adalah peninggalan dari zaman kolonial yang sudah 'ketinggalan zaman'. Pasokan crude oil lokal pun makin menipis. Sementara, kompleksitas kilang Pertamina juga masih rendah. Berbagai upaya dilakukan untuk modifikasi kilang. Berikut wawancara dengan Direktur Pengolahan Suroso tentang kondisi kilang Pertamina saat ini.

Soal kilang, apa tantangan yang dihadapi ke depan?

Tantangan ke depan adalah masalah sumber pasokan crude. Saat ini pasokan crude paling besar dari wilayah yang jauh seperti Timur Tengah, Afrika, Rusia. Kemudian tantangan kedua adalah harga crude yang tinggi, dan ketiga gross margin kilang yang sangat fluktuatif. Nah, Gross Margin ini bisa tinggi kalau kilang kita memiliki kompleksitas tinggi dan sumber crude yang harganya murah.

Bagaimana Kondisi kilang kita sekarang?

Kondisi kilang kita saat ini kompleksitasnya masih rendah. Sumber crude kita sekarang ini adalah sweet crude yang relatif

mahal. Desain kilang kita pada awalnya untuk mengolah sweet crude. Selain itu, sumber crude dari dalam negeri kelihatanya semakin menurun. Kilang kita selain efisiensinya relatif rendah karena didesain untuk memenuhi BBM domestik. Inilah yang menjadi tantangan kita untuk bersaing dengan kilang di sekeliling kita.

Apa yang harus dilakukan?

Ke depan kita harus meningkatkan efisiensi, mengganti peralatan dengan yang lebih modern dan memiliki efisiensi yang tinggi, optimasi pengaturan operasi dengan program operation excellence, kemudian melakukan modifikasi peralatan

kilang. Salah satunya adalah untuk meningkatkan cracking di kilang Cilacap dan Balikpapan yang kompleksitasnya

rendah harus ditingkatkan dan kemampuan untuk mengolah crude yang lebih murah (sour crude).

Untuk kilang Cilacap diharapkan produksi low value product-nya akan dikonversikan menjadi produk bernilai tinggi dengan

memasang unit cracking. Demikian halnya untuk di Balikpapan yang masih menghasilkan LSWR akan dipecah atau di-crack menjadi produk bernilai lebih tinggi dengan memasang unit cracking. Selain itu Balikpapan juga diharapkan dapat mengolah sour crude (crude yang memiliki kadar sulfur tinggi) sehingga gross margin-nya daapt ditingkatkan. Produk high value dari Balikpapan masih dipelajari, tapi diperkirakan dapat menghasilkan antara lain solar dan minyak tanah. Kalau di Cilacap dengan RCC bisa menghasilkan Mogas, Olefin, dan LPG.

Berapa total investasi yang dibutuhkan?

Kemungkinan antara 5-6 milyar dólar untuk keduanya. Sebagai informasi saja untuk membangun kilang saat ini dengan

kapasitas 400 ribu barel sekitar 12 miliar dolar. Sekarang ini harga kilang sedang tinggi.

Bagaimana kondisi bisnis kilang saat ini jika dibandingkan dengan masa lalu?

Posisi kondisi bisnis kilang itu kalau dulu kilang margin-nya rendah sehingga orang tidak mau bangun kilang. Harga kilang waktu itu relatif normal. Saat ini saat dunia kekurangan kapasitas kilang, maka otomatis margin-nya tinggi, orang beramai-ramai membangun kilang. Sehingga harga pembangunan kilang juga naik. Ini hukum supply demand.

Bisa dijelaskan tentang pengadaannya?

Pengadaan crude ada tiga tipe pertama adalah entitlement pemerintah pembelian crude dari dalam negeri sekitar 50-60

persen, selain itu 20-30 persen dari term kontrak, sedangkan sisanya dilakukan melalui spot 10-20 persen. Untuk yang spot ini dilakukan melalui tender.

Untuk term kontrak penjelasannya seperti yang dilakukan dengan Saudi Aramco, national oil company (NOC) lain, ataupun dengan anak perusahaan dan pembeliannya sebagian besar adalah CIF (Cost Insurance and Freight). Untuk Saudi Aramco pembeliannya FOB (Freight On Board). Untuk yang harganya CIF dengan menggunakan OSP (Official Selling Price) ditambah premium yang ditetapkan oleh mereka. Untuk kontraknya yang Saudi Aramco itu evergreen sedangkan yang

lain tahunan tapi haraganya dievaluasi dan disepakati setiap tiga bulan sekali.

Bagaimana dengan harganya, apakah tetap bisa bersaing dengan harga crude lokal?

Dalam setiap tender (pengadaan crude oil, Red), kita tentukan harga sudah sampai di tujuan, apakah akan dibawa ke Balikpapan atau Cilacap. Karena sampai saat ini kita mengimpor crude untuk dua kilang tersebut dan ada sebagian untuk UP VI.

Banyak yang mengatakan, tujuh kilang yang dimiliki Pertamina sudah dalam kondisi tua dan sudah saatnya di-upgrade. Bisa diceritakan bagaimana gambaran yang ada sekarang?

Secara umum, Direktorat Pengolahan memiliki tujuh unit pengolahan. Mulai dari Pangkalan Berandan sampai di Kasim, Papua. Baru-baru ini, UP I Pangkalan Berandan sudah tidak operasi lagi. Artinya, tinggal ada enam unit pengolahan yang masih berproduksi.

Mengapa harus ditutup, apakah sudah tidak efisien lagi?

Gambarannya begini, UP I Pangkalan Berandan selama didesain untuk mengolah crude oil lokal. Kapasitas kilangnya sendiri

sangat kecil, hanya 5 ribu barel per hari. Di satu sisi, pasokan crude oil lokal (yang bisa diolah di kilang Pangkalan Berandan, Red) dari daerah sekitarnya sudah tidak ada lagi. Kalau kita harus impor crude untuk kilang tersebut kapasitasnya sangat kecil.

Sama sekali tidak efisien.

Tentang Kilang Sorong di Papua, banyak yang mengatakan sebenarnya dari segi produksi sudah tidak efisien. Apakah benar?

Unit Pengolahan VII di Sorong itu memang dibangun untuk pengembangan di kawasan Indonesia timur. Kapasitasnya 10 ribu barel per hari, dan hanya beroperasi 7 ribu barel per hari. Tapi kita tetap mempertahankan beroperasi karena crude lokal masih cukup.

Dengan keterbatasan kondisi infrastruktur kilang tersebut, hal apa yang bisa dilakukan?

Kapasitas tangki kita memang banyak keterbatasan. Karena itu, kita perlu melakukan investasi untuk kilang. Baru-baru ini kita telah melakukan investasi di kilang Cilacap. Salah satunya dengan membangun storage (tangki timbun, Red) minyak mentah di kilang tersebut.

Dari awal diceritakan, kilang kita banyak yang digunakan untuk mengolah minyak mentah lokal seperti Minas dan Duri. Lantas, bagaimana efisiensi diberlakukan untuk impor minyak mentah dari luar negeri?

Kita selalu melihat gross margin menjadi acuan kita dalam pengadaan minyak mentah. Kita lakukan optimalisasi dari rangkaian arus pengadaan minyak mentah. Kita menggunakan beberapa variabel. Mulai dari jumlah pengadaan, harga minyak, produk, dan jenis minyak. Kita lakukan lewat program linear.

Maksudnya?

Untuk pengadaan crude, dilakukan di pusat. Karena ini supaya tidak terjadi rebutan antara masing-masing kilang sehingga tidak ada optimasi. Untuk itulah disentralisasikan untuk menghitung keekonomian secara terpusat dan untuk mengoptimalkan pasokan minyak mentah dan produk. Sehingga permintaan di pasar lebih terkontrol.

Dua kilang sudah tidak optimal lagi, lantas apa yang bisa diandalkan dari kilang yang dimiliki oleh Pertamina?

Nah, tentu saja tidak semuanya dalam kondisi seperti itu. Untuk kilang Balongan (Jawa Barat, Red) itu relatif paling

baru. Kapasitasnya cukup besar, meskipun crude oil-nya tetap menggunakan crude Minas dan Duri. Lalu kita juga memiliki

kilang Cilacap yang memiliki kapasitas cukup besar. Kapasitasnya 328 ribu barel per hari. Berbeda dengan kilang Balongan, kilang Cilacap sudah kita gunakan untuk mengolah minyak mentah dari lokal maupun impor. Misalnya untuk mengolah crude dari Timur Tengah. Hal itu juga kita lakukan di kilang Balikpapan yang memiliki kapasitas 220 ribu barel per hari. Kilang Balikpapan juga bisa mengolah crude lokal maupun impor.

Terima kasih.•Abi

Sumber : Edition No. 14 / XLIII, 2 Juli 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar