Jumat, 15 Januari 2010

Laporan Hasil Pemeriksaan dan Penyelidikan Gas di Ciamis

Laporan pemeriksaan dan penyelidikan Gas di Kampung Manganti, Desa Sidarahayu, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Ciamis yang dilaksanakan pada tanggal 6 Januari 2007 sebagai berikut:

* Latar Belakang

Pada tanggal 29 Desember 2006 Harian Pikiran Rakyat memuat berita tentang kemunculan gas di Kampung Manganti, Desa Sidarahayu, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Clamis, dan atas kejadian tersebut Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Ciamis kepada Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi untuk melakukan pemeriksaan dan penyelidikan di lokasi kemunculan gas tersebut. Maka Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi melalul Kepala Bidang Evaluasi Potensi Bencana, menunjuk Ir. Akhmad Zaennudin, M.Sc, sebagai ketua tim lapangan yang beranggotakan dari beberapa disiplin ilmu untuk melaksanakan pemeriksaan dan penyelidikan.

Tim ini ditugasi untuk memeriksa dan menyelidiki kemunculan gas di daerah tersebut, karena berita kemunculan gas ini sudah cukup luas tersebar sampai ke tingkat Pemerintahan Pusat di Jakarta. Bahkan lokasi ini telah dikunjungi oleh Dede Yusuf, salah satu anggota DPR-RI dari Komisi VII Bidang Energi dan Pertambangan.

Pembaritaan secara resmi telah diberikan oleh Pemda Ciamis yang mengatakan bahwa kemunculan gas di Dusun Manganti, Desa Sidarahayu, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Ciamis diduga mempunyai nilai ekonomis karena gas yang keluar dari lubang dapat digunakan untuk memasak setelah disalurkan dengan pipa paralon (PVC) ke rumah penduduk.

Pada tanggal 6 Januari 2007 Tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang terdiri atas Ir. Akhmad Zaennudin, M.Sc., Sukarnen, dan Sunarya yang bersama-sama dengan Tim dari Pusat Lingkungan Geologi yang terdiri atas l. Wayan Mudiana, Dian Yudanugraha, S.T., dan Odit melakukan peninjauan dan penyelidikan di lokasi kemunculan gas tersebut.

* Maksud dan Tujuan

Maksud dari pemeriksaan dan penyelidikan ini adalah mengambil sampel gas yang keluar dari lubang pemboran air dan penyelidikan geologi secara singkat di lokasi munculnya semburan gas dan sekitarnya. Juga bila memungkinan akan dilakukan penyelidikan geofisika dengan menggunakan metoda Gorund Penetrating Radar (GPR) di sekitar lokasi munculnya gas.

Tujuannya adalah mengetahui kondisi geologi di daerah sekitarnya dan lapisan-lapisan di bawah permukaan serta komposisi gas yang keluar di lokasi tersebut.

* Peralatan yang digunakan:

* Peta Geologi

*

Palu geologi

*

Kompas geologi

*

Satu unit Ground Penetrating Radar

*

Tabung gas Giggenbach (2 buah)

*

Alat pendeteksi gas Multiwarn (1 unit)

*

Peralatan pengambilan sampel gas (satu set)

*

GPS handy (1 unit).

* Meteran roll 50 m(1 buah).

* Hasil Pemeriksaan dan Penyelidikan.

Lokasi kemunculan gas yang mudah terbakar tersebut di belakang rumah salah seorang penduduk di kampung Manganti, Desa Sidarahayu, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Ciamis. Lokasi ini dapat dicapai dengan roda 2 atau roda 4 langsung dari Kota Banjar ke arah tenggara berjarak sekitar 15 km, melalui

jalan beraspal.

Lokasi ini tepatnya berada di belakang rumah Kuswanto pada sumur pemboran air tanah. Sumur pemboran ini dilakukan sekitar bulan Nopember 2006 untuk mendapatkan air keperluan sehari-hari. Pemboran ini dilakukan sedalam 28 m yang hanya memerlukan waktu sekitar 3 - 4 jam pemboran dengan cara manual yaitu pemboran tangan menggunakan tenaga manusia dibantu dengan memasukan air yang disemprotan ke dalam pipa bor (rot). Sehingga "cutting" hasil pemboran tidak terdapat lagi di sekitar lokasi karena terbawa hanyut oleh air saat pemboran. Pada pemeriksaan dan penyelidikan ini diharapkan masih dapat mengenali "cutting" tersebut, tetapi tidak dapat menjumpainya di sekitar lokasi.

Berdasarkan dari keterangan yang diberikan oleh tuan rumah yang mempunyai sumur bor tersebut bahwa batuan atau lapisan tanah yang ditembus oleh lubang bor sangat lunak sehingga dalam waktu yang cukup singkat hanya 3-4 jam dapat menembus kedalaman 28 m.

Lapisan-lapisan yang ditembus oleh pemboran ini diduga tersusun oleh endapan aluvial dari dataran banjir S. Citandui yang hanya berjarak 200 m di sebelah timurnya, terdiri dari pasir halus, lempung, lumpur dan mungkin endapan organik yang terkubur di bawah permukaan. Karena air yang didapatkan dari pemboran tersebut berbau kurang sedap maka pada bulan Desember 2006 dilakukan pengurasan air agar air yang keluar- dari lubang bor tidak bau dan lebih jernih lagi. Air yang diambil pada kedalaman 8 m dengan memasukan paralon berukuran 2 inch ke dalam lubang bor, permukaan air tanah pada lubang bor ini hanya 1,5 m dengan suhu 27,6°C pada suhu udara bebas 29,1°C. Setelah lubang bor dikuras dijumpai fenomena baru dengan munculnya gas di samping pipa paralon saluran air yang disedot untuk keperluan sehari-hari kecuali air minum. Munculnya gas tersebut berupa gelembung-geiembung yang keluar di samping pipa air tersebut, sehingga atas inisiatif sendiri dari yang punya lubang bor kemudian dengan menggunakan pipa paraion berukuran 0,5 inch yang ditanamkan disarnping pipa paralon air sedalam 1 m disalurkan ke rumahnya dan sebagian dibuat saluran lainnya untuk dibakar pada ketinggian sekitar 1 m dari permukaan tanah. Pada saat peninjauan dan penyelidikan sumur bor tersebut pada tanggal 6 Januari 2007 gejala muncalnya gas sudah tidak dapat dijumpai lagi. Hal ini berdasarkan pemantauan langsung pada lubang bor yang pada bagian permukaannya diisi dengan air dan tidak menunjukkan adanya gelembunggelembung gas yang muncul dari bawah. Begitu juga pada lubang bor yang telah ditanam pipa paralon 2 inch sedalam 8 m untuk saluran air tidak terdapat gas yang keluar. Pemeriksaan gas ini di pipa pelindung (Casing pemboran) dengan cara membuka tutup casing lubang bor kemudian menyalakan air di mulut pipa casing tersebut ternyata tidak terjadi pembakaran gas yang keluar, artinya gas yang mudah terbakar tersebut sudah tidak keluar lagi. Informasi lainnya yaitu keterangan dari pemilik sumur bor bahwa nyala api dari lubang bor ini telah padam pada tanggal 4 Januari 2007 jam 21.00. Sehingga dapat dipastikan bahwa gas tersebut sudah tidak keluar lagi dari dalam tanah. Tim Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi beserta Tim Pusat Lingkungan Geologi selama pemeriksaan dan penyelidikan di lokasi tersebut tidak mendapatkan sampel gas yang keluar. Walaupun begitu kami masih dapat mendapatkan data gas ini dari sampel gas yang telah diambil sebelumnya dengan cara yang sederhana yaitu menampungnya dengan kantung plastik berukuran 20 X 20 Cm dari mulut lubang bor kemudian diikat dengan karet pada bagian kantung plastik yang terbuka. Sampel ini diambil oleh Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Ciamis sekitar satu minggu sebelumnya. Ada dua sampel dalam kantung plastik yang satu sudah mengempes dan yang satunya lagi masih menggelembung. Kantung plastik sampel yang sudah kempes tidak dapat mendeteksi gas yang ada, mungkin sudah menguap ke udara bebas, sedangkan pada kantung plastik yang menggelembung masih dapat mendeteksinya yaitu dengan cara memasukan selang karet ke dalam kantung plastik yang berisi sampel gas, yang kemudian disalurkan ke alat pendeteksi gas Multiwarn dari Drager dengan sensor gas CO2, S02, CO, CH4, dan H2S. Hasil dari pemeriksaan dengan sensor gas terbatas yang hanya 5 unsur gas menunjukkan :

C02 : 0,03 % volume

CH4 : 16 %

LEL S02 : tidak ada

CO : 4 ppm

H2S : tidak ada

Hasil analisis ini belum rnenunjukkan komposisi gas yang keluar dari lubang bor tersebut secara keseluruhan, karena hanya ada lima unsur yang dapat dideteksi oleh alat Multiwarn Drager. Komposisi yang sesungguhnya dapat diketahui bila sampel langsung diambil dari lubang bor dengan metoda "Giggenbach" yang kemudian dianalisis di laboratorium Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Tetapi dari hasil ini juga dapat disimpulkan bahwa gas yang keluar dari lubang pemboran air di kampung Manganti, Desa Sidarahayu, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Ciamis didominasi oleh gas CH4 (Methana) yang terdapatsekitar 16 % LEL. Asal-usul gas CH4 ini diduga berasal dari pembusukan bahan-bahan organik yang tertimbun di bawah permukaan berupa lensa-lensa dalam endapan dataran limpah banjir (endapan aluvium) S. Citandui. Sungai ini hanya berada sekitar 200 m dari lokasi ini ke arah tenggara. Berdasarkan peta geologi sekala 1: 100.000 (Kastowo dan N. Suwarna, 1996) Lembar Majenang menunjukkan endapan aluvium tersebar sangat luas, khususnya pada dataran banjir sungai-sungai yang besar seperti S. Citandui. Endapan aluvium terdiri atas kerikil, pasir, dan lempung yang berwarna kelabu, lempung hitam berbau busuk hasil endapan rawa, tebalnya kurang dari 5 m.

Di daerah penyeiidikan endapan aluvium menutupi hampir seluruh wilayah ini yang menindih secara tidak selaras Formasi Tapak. Formasi ini tersingkap baik di dasar dan tepi S. Citandui dekat Bendung Manganti yang berjarak sekitar 500 m ke arah tenggara dan sekitar 1 km ke arah utara di tebing bukit dari lokasi sumur bor.

* Pembahasan

Menurut keterangan dari penduduk yang tinggal di sekitar wilayah ini bahwa kejadian serupa telah terjadi yang ketiga kalinya. Dua kejadian yang lebih awal tidak dilaporkan ke dinas terkait, dan baru kejadian ini yang dilaporkan ke Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Ciamis. Dua kejadi serupa yang lebih awal mempunyai kasus yang hampir sama yang hanya berlangsung beberapa hari saja mengeluarkan gas metana. Dan berdasarkan keterangan yang mernpunyai sumur bor bahwa gelembung-gelembung gas keluar di samping pipa paralon saluran air yang ditanam sedalam 8 m. Jadi gas tersebut muncul dari lapisan yang berada lebih dangkal dari 8 m. Hal ini sangat sesuai dengan ketebalan lapisan endapan dataran banjir yang hanya setebal 5 m berupa endapan rawa yang terdiri endapan lempung hitam berbau busuk yang diduga banyak mengandung bahan-bahan organik. Bahan-bahan organik inilah yang terdapat berupa lensa-Iensa dalam endapan alivium rawa terawetkan kemudian mengeluarkan biogas terjebak di bawah permukaan sedalam kurang dari 5 rn. Akibat kegiatan pemboran air dangkal lensa bahan organik tersebut tertembus sehingga lubang sumur inilah sebagai saluran keluar untuk muncul ke permukaan.

Biogas (metana) dari lensa-lensa endapan bahan organik ini tedapat dalam ukuran kecil dan tipis sehingga volumenyapun kecil hanya berupa kantungkantung kecil dalam endapan aluvium rawa. Sehingga jumlah gas yang keluar hanya dalam volume kecil yang dalam beberapa hari akan habis. Seperti peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di wilayah ini sebanyak tiga kali. Kejadian ini akan dapat terjadi lagi pada kemudian hari bila pemboran atau penggalian sumur yang menembus kantung lensa bahan organik yang ada di lapisan endapan aluvium rawa di sekitar wilayah ini, Gas ini tidak berbahaya bagi makhluk hidup di sekitar munculnya gas karena bukan gas racun, tapi perlu diwaspadai bila terjadi kemunculan gas pada suatu pemboran atau penggalian tidak menyalakan api. Karena gas ini mudah terbakar apalagi pada awal kemunculannya yang biasanya masih bertekanan relatif besar akan mengakibatkan semburan gas yang cukup besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar