Kamis, 07 Januari 2010

Menyingkap Tabir Split Bagi Hasil Migas


Agustus 28th, 2007 by Abdul Kadir

Selama migas masih terus dicari dan dieksploitasi di negeri ini, sepertinya pembicaraan tentang bagi hasil migas akan terus menjadi topik yang menarik. Apalagi UU Migas No. 22 tahun 2001 telah mengukuhkan sistem Kontrak Bagi Hasil sebagai default bentuk Kontrak Kerja Sama dalam pengusahaan migas, sepanjang belum ditemukan kontrak alternatif yang lebih menguntungkan bagi negara daripada sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract).

Tahun lalu seorang anggota DPR dari fraksi Partai Amanat Nasional Alvin Lie sempat kaget karena baru “ngeh” kalau share Pemerintah dari kontrak bagi hasil gas bumi dengan Exxon di blok Natuna D Alpha besarnya berubah jadi 0%, padahal seharusnya adalah 70% termasuk pajak. Alvin Lie mengatakan: “Ternyata blok natuna penghasil gas di Indonesia sejak tahun 1994 dikelola Exxon dengan basic agreement seharusnya berakhir januari 2005. Dengan pola bagi hasil Indonesia 0 Exxon 100 %. Data ini sahih karena keluar dari mulut kepala BP Migas sendiri.” (baca: RI Tak Pernah Terima Hasil Minyak Natuna) Dengan share Pemerintah 0% ini opini pun berkembang bak bola salju, ada yang mengatakan Pemerintah tidak akan dapat apa-apa, ada yang mengatakan Pemerintah cuma dapat dari pajak, bahkan ada juga yang mengatakan Pemerintah bakal nombok/tekor? Meskipun isu ini kata temen-temen blogger bisa dibilang sudah basbang (basi banget), namun esensinya masih tetap penting untuk kita ketahui/pahami dengan baik.

Melalui tulisan ini, mari kita refresh kembali pemahaman kita mengenai porsi (split) bagi hasil yang ditentukan dalam kontrak bagi hasil migas. Porsi (split) bagi hasil migas selalu ditentukan dalam kontrak berdasarkan prosentase sebelum pajak. Tentu, besar pajaknya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku pada saat kontrak bagi hasil tersebut ditandatangani. Split bagi hasil yang berlaku standar dan sering kita dengar 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas, adalah split sesudah pajak. Saya akan deskripsikan bagaimana pengaruh porsi bagi hasil migas sesudah pajak ini, terhadap total take (total pendapatan) yang diperoleh masing-masing pihak dari bagi hasil tersebut selama masa kontrak.

Contoh kasus saya buat dengan bantuan software FIELDMA, agar perhitungan dapat dilakukan dengan cepat dan minim kesalahan. Perhitungan bagi hasil dibuat dengan asumsi tanpa FTP dan dengan FTP (FTPshare mengikuti porsi contractor share dan FTPshare 30% after tax untuk kontraktor pada berbagai contractor share). Pajak 48%, produksi 200 MMCFD selama 20 tahun, asumsi harga jual gas 3 US$/MCF. Produksi gas diasumsikan mulai terjadi setelah 3 tahun persetujuan POD, di mana tahun ke-0 diambil pada tahun disetujuinya POD tersebut. Biaya dibuat dalam satuan juta US$. Biaya eksplorasi yang telah dilakukan, dimasukkan sebagai biaya tahun ke-0. Biaya kapital dan non kapital tahun ke-0, ke-1, ke-2, ke-3, ke-8, ke-13, ke-18 masing-masing: 11.66 ; 20 ; 20 ; 12 ; 12 ; 12 ; 12 dan 46.64 ; 10 ; 10 ; 8 ; 8 ; 8 ; 8 juta US$. Di mana operating cost diasumsikan 0.45 USD/MCF. Asumsi MARR 15%. Dari data-data di atas, kita dapat menghitung distribusi revenue yang diperolah masing-masing pihak pada berbagai nilai contractor share. Hasilnya ditunjukkan pada gambar-1 dan gambar-2 berikut.




Pada kasus PSC tanpa FTP dan PSC dengan FTP yang dibagi sesuai contractor share, memberikan profil yang sama seperti gambar di atas. Profil distribusi revenue tersebut menggambarkan beberapa kondisi sebagai berikut.

* Contractor Share After Tax = 0% Pada kondisi ini, kontraktor hanya mendapatkan penggantian biaya (cost recovery), sedangkan pemerintah mendapatkan share (pendapatan bukan pajak) seluruhnya. Kondisi ini adalah kondisi “irasional” yang sangat merugikan kontraktor, tidak disukai Depkeu, tapi sangat diinginkan oleh Daerah Penghasil Migas. Kontraktor pasti akan menolak kalau ditawarkan bagi hasil dengan kondisi ini, oleh karena itu Pemerintah tidak akan pernah menawarkannya sampai kapanpun.

* 0% <>Dengan asumsi pajak 48% seperti di atas, kondisi 0% <>

* Contractor Share After Tax = (1 - %tax) Dengan asumsi pajak 48% seperti di atas, kondisi contractor share 52% merupakan kondisi “buffer” atau kondisi “daripada tidak”. Pada kondisi ini, Pemerintah hanya mendapatkan penerimaan berupa pajak. Karena yang diterima hanya pendapatan berupa pajak, sampai kapan pun Daerah Penghasil Migas dan tetangganya jangan sekali-kali berharap untuk dapat bagian dana perimbangan bagi hasil migas dari kontrak kerja sama dengan investor tersebut. “Daripada blok tersebut tidak dikelola karena tingkat kesulitannya sangat tinggi dan tidak menghasilkan apa-apa, lebih baik dikelola saja walau hanya mendapatkan bagian berupa pajak”, biasanya alasan Pemerintah demikian. Makanya kondisi ini saya namakan kondisi “daripada tidak”. Kalau investor ditawarkan kondisi ini, pasti mereka akan memburunya.

* (1 - %tax) <>
Kondisi ini adalah kondisi “Kritis”, karena Pemerintah tak mampu lagi memberikan daya tarik yang lebih memikat. Saya katakan kondisi “kritis”, karena pada kondisi ini blok migas betul-betul diobral. Sehingga di samping rela kehilangan bagian bukan pajak, Pemerintah masih “berbaik hati” memberikan insentif pajak kepada investor. Kondisi ini harusnya tidak akan pernah terjadi tanpa persetujuan Menkeu, karena sudah masuk wilayah interdep ESDM-Depkeu.

* Contractor Share After Tax = 100% Kondisi ini adalah kondisi “Bahaya”, karena negeri ini telah dijajah oleh para pemilik modal sehingga tidak ada sepeserpun bagian yang diterima Pemerintah baik pajak maupun bukan pajak.

Sumber: http://www.id-petroleumwatch.org/2007/08/28/menyingkap-tabir-split-bagi-hasil-migas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar