Sabtu, 16 Januari 2010

SWASTANISASI SPBU

PT Pertamina (Persero) menetapkan aktivitas pemasaran Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk konsumen kendaraan bermotor menggunakan saluran pemasaran satu tingkat. BBM jenis premium dan solar didatangkan dari Depot penimbunan, dikirimkan ke sarana retail Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Pada mulanya, SPBU ini merupakan milik Pertamina. Semua sarana SPBU merupakan asset perusahaan. Perawatan dan perbaikan sarana ditanggung oleh Pertamina. Perusahaan plat merah ini harus menyediakan tim tukang pompa, untuk memperbaiki kerusakan pompa di semua SPBU. Perusahaan juga menyediakan tim teknik yang melakukan perencanaan dan perawatan fasilitas SPBU.

Mitra usaha (pengusaha) menyediakan dana (Cash Bonus) sebesar separuh dari nilai asset SPBU. Tanpa perlu repot mengurusi banyak hal berkaitan dengan perawatan asset, pengusaha tinggal menjalankan operasi penjualan BBM.

Cara ini semakin lama dirasakan memberatkan Pertamina. Upaya menambah SPBU terhambat karena perusahaan harus menyediakan dana yang cukup besar. Maka, pada awal tahun 1990-an mulai dilakukan swastanisasi SPBU. Asset SPBU dinilai menurut kondisi saat itu, dijual kepada mitra dengan memperhitungkan Cash Bonus yang pernah dibayar.

Semenjak itu, pengusaha harus menyediakan sendiri modal untuk membangun SPBU. Perawatan dan perbaikan fasilitas SPBU juga harus dilakukan sendiri oleh pengusaha. Kewajiban Pertamina hanya menyediakan BBM sesuai alokasi yang ditentukan.

Dengan swastanisasi, penambahan SPBU tumbuh cepat. Terlebih pada akhir-akhir ini Pertamina mempermudah ijin membangun fasilitas penjualan ini. Disisi lain, swastanisasi berarti mendelegasikan berbagai tugas penjualan kepada Mitra. Delegasi ini berarti melepaskan sejumlah pengendalian. Pertamina seolah-olah meletakkan nasib perusahaan ke tangan Mitra.

Sepuluh tahun kemudian terjadi perubahan pengelolaan Minyak dan Gas Bumi (Migas) di dalam negeri. Dengan adanya Undang-Undang Migas nomor 22 tahun 2001, Pertamina tidak lagi merupakan satu-satunya perusahaan yang memasarkan BBM dalam negeri. Kini sudah ada tiga perusahaan minyak asing yang mengelola SPBU, yaitu Shell, Petronas dan Total.

Mengingat SPBU didominasi warna merah dengan logo anak panah (Pertamina) adalah milik swasta (Mitra), maka sangat memungkinkan pengusaha memodifikasi SPBU dengan merubah warna dan berganti logo. Jika kemitraan dengan pihak asing lebih menguntungkan, bukan mustahil pada saatnya nanti SPBU yang semula menjual BBM dari Pertamina berganti menjual produk BBM asing.

Kemitraan dengan Pertamina, mengharuskan pengusaha menebus DO (Delevery Order) dengan membayar tunai terlebih dahulu untuk mengadakan BBM. Pengiriman minyak hanya dilakukan jika dapat menunjukkan DO ini. Jika perusahaan minyak asing, misalnya, menawarkan pengiriman minyak terlebih dahulu dan dibayar setelah minyak terjual. Atau memberikan keuntungan per liter BBM lebih besar. Atau bisa juga dengan berganti logo diharapkan penjualan meningkat, maka sangat memungkinkan SPBU ini berganti logo.

Nampaknya Pertamina menyadari, tidak mau sepenuhnya nasibnya ditentukan oleh Mitra. Kini Pertamina membangun SPBU COCO (Company Own, Company Opereted). SPBU didanai sendiri dan dioperasikan sendiri. Hanya saja jumlahnya belum banyak karena harus menyediakan modal besar dan lahan strategis.

Boleh jadi, kalau seandainya dari awal Pertamina mengetahui bahwa pada tahun 2001 akan ada UU Migas, tentu Pertamina tidak akan menswastakan SPBU-nya (chusnul busro).

http://chbusro.blogspot.com/2009_05_01_archive.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar