Sabtu, 16 Januari 2010

Tanah Air Ku

dirty flag in an oil platform click picture for photo album

Pagi ini istimewa. Peringatan 17 Agustus dan penaikan bendera merah putih dilakukan di tengah laut, di atas helideck. Di sekeliling kami - barisan pekerja minyak berbaju coverall warna-warni dengan hard hat menutup kepala dan kaki berbungkus sepatu bot bertutup besi - hanya ada air laut biru sejauh mata memandang. Dan langit biru cerah, dengan segumpal kecil awan di sana-sini. Tiba-tiba kapal pemboran, anjungan dan menara bor jadi kecil sekali dibanding luasnya laut dan langit biru di sekeliling kami.

"Indonesia, tanah airku..." begitu kami bernyanyi sambil menghormat bendera kecil yang dikerek di antara antena-antena dan tiang-tiang untuk akhirnya berkibar di bawah windsock. Tanah air, terutama 'air' jadi terasa sekali artinya di sini. Dua pertiga wilayah Indonesia terdiri dari laut. Banyak dari wilayah laut itu betul-betul jauh dari daratan. Misalnya Laut Natuna tempat kami berada ini. Letaknya sangat menjorok ke utara, di antara daratan Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara yang milik Malaysia. Kota besar terdekat? Singapura. Atau kota-kota di pantai timur Malaysia. Karena Laut Natuna mengandung begitu banyak sumber daya minyak dan gas, maka perhatian pemerintah jadi besar kepada daerah ini. Pulau-pulau kecil di kepulauan Natuna dan Anambas juga cukup di'rawat' dan diawasi, karena kepentingan strategisnya.

Tapi bagaimana dengan pulau-pulau kecil tak berpenduduk di pinggiran batas Indonesia? Sudahkah dirawat dan diperhatikan sehingga tak hilang seperti Sipadan dan Ligitan? Tapi rupanya kasus Sipadan dan Ligitan menjadi tamparan cukup keras bagi pemerintah dan saat ini rupanya perhatian kepada pulau-pulau terpencil ini mulai besar.

Baru-baru ini Bakosurtanal melalui pemetaan citra pengindraan jauhnya menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia bisa mencapai 18000 pulau, jauh lebih banyak dari 13677 pulau yang kita pelajari dulu di sekolah. Ekspedisi Wallacea yang diikuti oleh salah seorang teman penyelamku menyertakan kegiatan toponim menamai pulau-pulau dan memasukkannya ke dalam peta secara resmi. Tidak mudah, karena kriteria pulau adalah daratan, sekecil apapun, yang masih muncul di permukaan laut pada saat pasang tertinggi. Yang berarti mereka harus mengamati pulau-pulau ini pada saat pasang naik. Nama pulau juga harus dipilih dan ditetapkan karena sering sebuah pulau bernama lebih dari satu.

Seorang teman penyelam lain yang bekerja di Departemen Kelautan menceritakan proyeknya yang menyediakan listrik tenaga surya terbatas untuk pulau-pulau kecil di perbatasan. Di sebuah pulau di utara Sulawesi yang sudah mendekati perbatasan dengan Filipina dan bahkan bahasanya pun mendekati bahasa Tagalog, selain listrik tenaga surya juga dipasang fasilitas untuk menangkap siaran RRI dan beberapa radio swasta dari Jakarta. Rakyat miskin di situ akhirnya mulai diperhatikan (sayangnya hanya karena kepentingan strategisnya bukan karena perhatian terhadap manusianya).

Sebetulnya masalah 'merawat' pulau seharusnya juga menyangkut pemeliharaan alamnya. Jika pencurian pasir dan karang tidak dihentikan, pulau bisa hancur dan hilang. Alampun rusak. Sedihnya hati ini kalau melihat betapa terumbu karang yang seharusnya indah jadi tinggal onggokan karang patah yang coklat dan mati.

Ah, begitu banyak yang masih harus kita lakukan untuk merawat tanah dan air kita..... Dirgahayu bangsaku.

Laut Natuna, 17 Agustus 2004


http://my-musings.blogdrive.com/archive/37.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar