Jumat, 15 Januari 2010

Tangan Diatas Lebih Baik Dari Pada Tangan Dibawah

Sebuah kisah, seorang sufi zuhud pergi haji. Setelah selesai melaksanakan manasiknya, dia tertidur kelelahan. Dalam tidurnya dia bermimpi mendengar percakapan malaikat yang mencatat siapa saja yang hajinya mabrur. Ternyata dari ratusan ribu jamaah, tercatat hanya beberapa orang saja yang berpredikat mabrur, termasuk dirinya dan seorang tukang sepatu dari Baghdad. Ketika dia menjumpai rombongan jamaah haji dari Baghdad, ternyata tukang sepatu itu tidak dijumpai di antara jamaah tersebut karena urung berangkat. Karena penasaran, kemudian sufi itu pergi ke Baghdad untuk menemui tukang sepatu tersebut, ingin mengetahui apa yang menyebabkannya mendapat haji mabrur meskipun tidak jadi pergi haji ke Mekah. Ketika bertemu, tukang sepatu tersebut mengaku bahwa sebelumnya ia memang hendak pergi haji ke Mekah dengan biaya yang dikumpulkan selama puluhan tahun. Namun setelah uang itu terkumpul dan cukup untuk melaksanakan haji, ia tidak jadi berangkat karena uang itu diserahkan kepada tetangganya, seorang janda miskin dengan beberapa anaknya yang menderita kelaparan. Ia bercerita, ketika itu istrinya mencium bau harum kambing bakar dan sangat menginginkannya. Sehingga ia menyuruh putranya untuk mencari tahu siapa yang sedang membakar kambing itu, untuk meminta atau membelinya barang sedikit. Beberapa saat kemudian, putranya itu kembali dan mengatakan bahwa kambing bakar tetangganya itu haram untuk dibeli maupun dimakan, tanpa penjelasan lebih lanjut. Sehingga ia (tukang sepatu) dengan sedikit agak dongkol serta penasaran, pergi mendatangi rumah tetangganya yang sedang membakar kambing. Ternyata di rumah itu tampak seorang janda dengan beberapa anaknya sedang memakan kambing bakar. Ketika ia mengutarakan maksudnya hendak membeli kambing bakar barang sedikit, janda itu bilang : "Kambing bakar ini halal bagi kami tetapi haram bagi tuan. Karena yang kami bakar ini adalah bangkai kambing yang saya temukan, padahal kami sudah tidak makan selama beberapa hari, karena memang kami tidak punya apa-apa untuk dimakan atau dibeli". Mendengar penuturan janda tersebut, tanpa berucap sepatah katapun ia lalu kembali ke rumah, dan kemudian balik lagi dengan membawa uang yang rencananya akan digunakan untuk biaya haji itu, selanjutnya diserahkannya kepada janda tersebut untuk keperluan hidup bersama anak-anaknya agar tidak kelaparan lagi.

Di sebuah jalan di kota Bandung, Asep Sudrajat (61 tahun) bersama istrinya Asih, membuka warung kecil untuk menghidupi keluarganya. Mereka hidup sederhana dan tergolong muslim yang taat. Hampir 20 tahun mereka menyisihkan uang untuk menggapai cita-cita mereka dapat pergi haji. Malam itu mereka mencoba menghitung tabungannya, ternyata telah terkumpul sejumlah Rp 50,83 juta, hampir mencukupi untuk pergi haji berdua dengan ONH Rp 27 juta per orang. Sehingga ditorehkan niat untuk mendaftar haji tahun depan. Suatu pagi, Asep mendengar kabar bahwa Endi, teman akrab sesama jamaah Masjid Ash Shabirin sakit dan dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS). Dari diagnosa dokter, Endi menderita tumor tulang ganas, dan jalan satu-satunya untuk membuang tumor tersebut harus dioperasi, yang biayanya hampir Rp. 50 juta, sesuatu yang mustahil uang sebanyak itu dimiliki Endi, karena memang keluarga yang tidak mampu. Hampir tiap hari Asep menjenguk Endi, yang kondisinya semakin parah. Sehingga ketika Asep mendengar Endi harus dioperasi dengan biaya sebesar itu, ia kemudian berunding dengan Asih istrinya, hendak menolong Endi dengan memberikan uang yang sedianya untuk ONH itu. Pada awalnya Asih kurang setuju, namun dengan penuh pengertian dan kasih sayang Asep memberikan wejangan kepada istrinya, sehingga akhirnya Asih dengan ikhlas uang tabungan hajinya itu diberikan untuk menolong Endi. Sehari sebelum operasi dilaksanakan, dokter spesialis tulang yang selama ini menangani Endi merasa penasaran dan bertanya kepada istrinya Endi tentang siapa yang membantu membiayai, karena dokter itu mengetahui kalau Endi berasal dari keluarga miskin. Istrinya Endi menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi, termasuk kehidupan Asep dan istrinya yang hanya usaha warung kecil itu, namun ikhlas menolong mereka dengan memberikan uangnya yang sedianya untuk ONH. Alhamdulillah operasinya berjalan lancar, dan semuanya merasa gembira. Ketika Asep menjenguk Endi pasca operasi, kebetulan dokternya itu sedang memeriksa Endi. Keduanya pun berkenalan, bahkan dokter itu sangat memuji Asep yang murah hati. Beberapa pekan setelah Endi pulang dari rumah sakit, malam itu Asep dan Asih tengah berada di rumahnya, dan warung mereka belum lagi ditutup, tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan warung mereka. Ternyata yang datang adalah dokter yang menangani Endi di RSHS, bersama istrinya. Dokter itu mengungkapkan kedatangannya untuk bersilatrurahmi sambil menyatakan keharuannya terhadap pengorbanan Asep dan istrinya. Selanjutnya dokter itu menyatakan niatnya untuk belajar ikhlas serta mengajak Asep dan istrinya pergi haji bersama, dimana seluruh biayanya atas tanggungannya. Asep dan Asih hanya terdiam dan saling berpandangan. Suasana pun hening, tak ada jawaban dari Asep dan istrinya, kecuali derai air mata keduanya penuh keharuan. Sepeninggal dokter bersama istrinya, di ujung malam itu tangis Asep dan Asih semakin meledak dalam sujud yang teramat syahdu dan dalam syukur yang teramat indah.

Dari kedua kisah di atas, terdapat beberapa pelajaran yang dapat kita ambil. Pertama, inti kedua kisah itu sama, yaitu mendahulukan ibadah sosial daripada ibadah pribadi pada saat yang tepat. Haji adalah ibadah pribadi, dan ketika tetangganya sangat memerlukan pertolongan meskipun tidak meminta, mereka serahkan dengan ikhlas hartanya yang telah dikumpulkan puluhan tahun dengan susah-payah yang sedianya untuk kepentingan ibadah haji itu, kepada tetangganya yang sangat membutuhkan. Memang hal ini sangat sulit bagi kita untuk dapat melakukannya, dibutuhkan suatu perjuangan yang sangat berat. Dan ternyata Allah juga telah menginformasikan kondisi seperti itu : "Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sulit itu ? (yaitu) memerdekakan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada saat kelaparan, (menyantuni) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau (membantu) orang miskin yang sangat fakir" (QS Al Balad 12-16). Namun, Rasulullah salallahu alaihi wassalam pernah berpesan : "Barangsiapa yang memudahkan kesulitan saudaranya, niscaya Allah akan memudahkan jalan baginya menuju sorga" (HR Muslim). Kedua, Allah akan memberikan"rewards" yang luar biasa kepada mereka yang mampu ikhlas dalam membantu orang lain yang sangat membutuhkan pertolongan, meskipun harus kehilangan harta satu-satunya yang akan digunakan untuk beribadah kepada Allah. Rasulullah SAW pernah ditanya : 'Amalan apakah yang paling utama ?', dan Rasulullah menjawab : "Beriman kepada Allah dan utusanNya". Kemudian ditanya lagi : 'Ya Rasulullah lalu apa lagi ?', dan Rasulullah pun menjawab : "Meninggikan/mengagungkan agama Allah". Ditanyakan lagi : 'Kemudian amalan apa lagi ?', dan Rasulullah menjawabnya : "Haji Mabrur". (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah). Dalam riwayat yang lain Rasulullah pernah bersabda : "Tiada yang pantas balasannya bagi haji mabrur kecuali sorga". Jika pada kisah yang pertama, tukang sepatu itu mendapat predikat mabrur meskipun urung pergi ke Mekah, namun pada kisah yang kedua, mungkin Allah sudah memberikan predikat mabrur sebelum berangkat kepada Asep dan Asih, ditambah lagi oleh Allah dengan limpahan pahala dan rahmatNya karena dapat berangkat ke Mekah meskipun atas biaya orang lain, wallahu'alam. Ketiga, tangan di atas itu sangat mulia di sisi Allah dan juga manusia, jauh lebih baik daripada tangan di bawah. Dan ternyata tangan di atas itu sangat berkaitan erat dengan nilai ibadah lainnya. Dalam dua kisah di atas, hal itu berkaitan dengan nilai haji, yaitu mabrur, sesuatu yang sangat didambakan oleh setiap orang yang pergi haji.

Kata mabrur berkaitan dengan al birr yang berarti kebajikan. Dengan demikian, seorang haji mambur itu bukan sekedar ibadah hajinya yang diterima oleh Allah, tetapi juga haji yang dapat membuat pelakunya menumbuhkan dan meningkatkan kebajikan secara berkesinambungan pasca ibadah hajinya, yang akan memberikan manfaat bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain. Berkaitan dengan kata al birr, Allah menjelaskan dalam firmanNya : "Bukanlah al-birr (kebajikan) itu hanya menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi al-birr itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta (pertolongan), dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa" (QS Al Baqarah 177). Rasulullah juga mendefinisikan : "Al birr itu merupakan akhlak mulia, dan (sebaliknya) al itsm (kejahatan) itu adalah sesuatu yang merisaukan hatimu dan kamu tidak ingin orang lain tahu" (HR Muslim). Oleh karena itu, orang yang sudah melaksanakan ibadah haji, berarti (seharusnya) telah menyempurnakan seluruh rukun Islam dengan keimanan yang mantap sesuai rukun iman, serta memiliki akhlaqul karimah. Sehingga kita senantiasa mendo'akan saudara atau teman kita yang pergi haji semoga mendapat predikat mabrur. Kita berharap setelah kembali dari hajinya, mereka menjadi lebih baik dan mampu memancarkan nur ilahi dengan berbagai kebajikan yang bermanfaat. Meskipun pada kenyataannya belum seperti itu, masih banyak yang sebagai haji turis atau haji mabur/terbang saja, atau bahkan haji mardud (tertolak/tak bernilai). Beberapa hari lagi, prosesi ritual manasik haji akan dimulai. Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan wuquf di Arafah pada hari Selasa, 18 Desember 2007. Oleh karena itu, bagi kita yang tidak pergi haji, disunnahkan untuk berpuasa pada hari jamaah haji wuquf di Arafah. Karena di negri ini telah ditetapkan Idul Adha jatuh pada hari Kamis, 20 Desember, maka kita jangan berpuasa sunnah pada hari Rabunya (19 Desember), karena pada hari itu jamaah haji telah berada di Mina dan melempar jumrah Aqabah, sehingga haram kita berpuasa (perbedaan waktu di negri ini dan Arab Saudi hanya 4 jam saja). Dan pada hari Idul Adha atau tiga hari berikutnya kita memotong hewan qurban, sebagai pengejawantahan dari perintah Allah : "Sesungguhnya Kami telah memberimu Al-Kautsar (kenikmatan yang berlimpah). Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan sembelihlah hewan qurban" (QS Al Kautsar 1-2). Berqurban juga merupakan manifestasi dari tangan di atas. Kita membeli dan memotong hewan qurban dan kita bagikan daging hewan qurban itu kepada yang berhak, utamanya kepada fakir miskin yang jarang memakan daging. Dengan demikian, tangan di atas jauh lebih baik daripada tangan di bawah, dengan syarat ikhlas karena Allah, bukan karena ingin dipuji atau dikatakan dermawan, atau karena lainnya.

http://migas-indonesia.net/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar