Jumat, 15 Januari 2010

Bencana Datang Ketika Manusia Lalai

Sepuluh hari setelah peristiwa jebolnya tanggul bendungan Situ Gintung, di Cireundeu Tangerang Selatan, atau tepatnya pada tanggal 6 April 2009 telah terjadi gempa bumi yang melanda kota L'Aquila di Italia Tengah atau sekitar 100 kilometer sebelah timur laut kota Roma. Gempa tektonik yang berkekuatan 6,3 MW itu terjadi pada pukul 03.32 waktu setempat, atau pada dini hari menjelang subuh ketika manusia masih nyenyak tidur dalam kesunyian dan dinginnya udara di kota tersebut. Spontan ribuan orang dari seluruh penduduk kota tersebut lari keluar rumah memenuhi jalan-jalan dalam kegelapan dan dinginnya udara malam menjelang pagi itu. Ternyata gempa tersebut telah memporak-porandakan lebih dari sepuluh ribu bangunan di kota L'Aquila, yang menyebabkan banyak orang menjadi korban tertimpa puing bangunan dan puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggalnya. Tercatat 287 orang tewas dan lebih dari 1.500 orang luka-luka. Belum terhitung kerugian materi akibat gempa tersebut. Data sementara dari United States of Geological Survey (USGS), pusat gempa tersebut berada pada kedalaman 10 kilometer yang berlokasi di bagian tengah Pegunungan Apennina, sebuah jalur pegunungan yang membujur barat laut - tenggara di sepanjang wilayah Italia. Dari catatan USGS di wilayah Apennina bagian tengah ini juga pernah mengalami gempa bumi yang lebih kuat (lebih dari 7 MW), yaitu pada tanggal 23 November 1980 menjelang pagi, sebuah gempa yang menggoyang daerah Irpiona dimana telah menewaskan 2.570 orang, melukai 8.850 orang serta 30.000 orang lebih kehilangan tempat tinggalnya. Secara ilmu pengetahuan (geologi), Pegunungan Apennina ini memang wilayah tektonik yang kompleks akibat interaksi dari beberapa lempeng kulit bumi, baik yang besar seperti Lempeng Afrika dan Eurasia, maupun yang kecil seperti Lempeng Adriatik. Sedangkan penyebab kedua gempa itu (yang terjadi pada tahun 1980 maupun 2009) diduga karena aktifitas sesar/patahan yang searah dengan memanjangnya pegunungan tersebut, seperti halnya beberapa gempa yang terjadi di wilayah Sumatra, yang bersumber dari aktifitas sesar yang searah dengan memanjangnya Pegunungan Bukit Barisan.

Kejadian gempa bumi di Italia ini mengingatkan saya pada kejadian gempa bumi yang melanda Jogja tiga tahun lalu, tepatnya tanggal 27 Mei 2006 atau di akhir bulan Rabi'uts Tsani 1427 H, di hari Sabtu pagi menjelang matahari terbit (syuruq). Dalam keremangan pagi, Gunung Merapi yang pada saat itu sedang dalam fase erupsi tampak tenang dengan kepulan asap putihnya menjulang ke angkasa. Tak ada tanda-tanda yang aneh atau mencurigakan pada pergantian malam dan siang tersebut di kota Jogja. Hampir seluruh penghuni rumah belum banyak melakukan kegiatan di luar rumah, bahkan mungkin banyak di antara mereka masih tertidur pulas dibuai mimpinya atau kalau pun sudah melek masih bermalas-malasan di tempat tidur dalam kesejukan pagi, di hari libur cuti bersama. Namun, pagi itu saya bersama istri selepas subuh berjalan-jalan tidak jauh dari rumah (di Jogja) untuk menghirup udara segar sambil mengamati Merapi yang tampak tidak terlalu jauh di utara. Baru saja kami masuk rumah dan duduk santai di ruang keluarga mirsani TV sambil minum kopi, tiba-tiba terdengar suara gemuruh bersamaan dengan bumi serta bangunan di atasnya bergetar yang makin lama semakin keras, kemudian diikuti dengan aliran listrik mati dan benda-benda yang tergantung atau yang ada di rak berjatuhan. Pada saat itu pikiran saya benar-benar "blank", tidak tahu apa yang harus dilakukan dan kaki pun rasanya sulit untuk dilangkahkan. Beberapa detik kemudian baru tersadar, dan sambil mengucapkan "Allahu akbar" segera keluar rumah. Rupanya itulah detik-detik peristiwa gempa bumi yang melanda Jogja dan sekitarnya. Tampak kepanikan manusia yang berhamburan keluar rumah dan jeritan orang-orang yang tertimpa puing bangunan ketika berusaha lari menyelamatkan diri memecah kesunyian pagi itu. Orang-orang dari wilayah utara Jogja menyangka Gunung Merapi meletus hebat, sedangkan orang-orang dari wilayah selatan kota heboh gempa yang diikuti tsunami, dan mereka bertemu memadati jalan-jalan di sekitar Tugu Jogja sampai Monumen Jogja Kembali. Meskipun waktunya hampir satu menit saja, namun akibat yang ditimbulkannya telah meluluh-lantakan ribuan bangunan/rumah dan menewaskan ribuan manusia, serta melukai banyak orang, terutama di wilayah selatan kota Jogja (Bantul dan sekitarnya) dan selatan kota Klaten Jawa Tengah. Ketika saya memasuki rumah pasca goncangan gempa, dua cangkir kopi di atas meja yang belum sempat diminum masih di tempatnya, tidak terguling, namun isinya tinggal separuh dan di meja berceceran tumpahan kopi. Dan setelah meneliti seluruh isi rumah, alhamdulillah tidak dijumpai kerusakan yang berarti, kecuali barang-barang yang berserakan berantakan. Namun, di wilayah yang dilanda gempa lebih parah, sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengerikan dan amat memilukan, sebuah peristiwa tragis yang sulit untuk dapat dilupakan.

Dalam Qur'an, beberapa firman Allah banyak mengisahkan kaum terdahulu yang ditimpa azab karena kesombongannya tidak mau mengikuti aturan Allah dan seruan para utusanNya. Berbagai azab yang Allah timpakan kepada mereka yang ingkar itu, dan salah satunya adalah dengan bencana alam berupa gempa bumi. Pada pepeling yang lalu (Pepeling 14 dan 15) tentang Azab dan Kejadian Alam, telah diuraikan bagaimana Allah mengazab kaumnya Nabi Shalih dan Nabi Luth dengan gempa bumi, yang terjadi pada waktu pagi (subuh) atau pada saat pergantian malam dengan siang (syuruq). Sebagaimana ditegaskan oleh Allah, azab terhadap kaum Tsamud, kaumnya Nabi Shalih (yang artinya) : "Kemudian mereka (kaum Tsamud) menyembelih unta betina itu dan mereka berlaku sombong terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata :'Wahai Shalih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami jika (benar) engkau adalah termasuk orang-orang yang diutus (Allah)'. Karena itu mereka ditimpa gempa (bumi), maka jadilah mereka mayat-mayat bergelimpangan di tempat tinggal mereka" (QS Al A'raaf 77-78). Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa gempa bumi (yang sangat kuat) dengan suara keras bergemuruh (seperti ditegaskan Allah dalam QS Huud 67 atau QS Al Qamar 31) yang menimpa kaum Tsamud itu terjadi pada waktu pagi saat matahari terbit (syuruq). Demikian pula azab Allah terhadap kaumnya Nabi Luth, sebagaimana firmanNya (yang artinya): "Maka mereka dibinasakan oleh suara keras bergemuruh (gempa bumi) pada saat matahari menjelang terbit. Maka Kami jadikan negeri itu terbalik (dari atas amblas) ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan hijaaratammin sijjiil (tanah bebatuan keras dan panas). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan ayat-ayatNya bagi orang-orang yang mau memperhatikan. Dan sesungguhnya negeri itu benar-benar terletak pada sabiilimmuqiim (jalur yang ditempatkan). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan ayat-ayatNya bagi orang-orang yang beriman" (QS Al Hijr 73-77). Dari segi ilmu pengetahuan, gempa bumi yang menimpa kaumnya Nabi Luth ini ditimbulkan oleh adanya aktifitas sebuah sistim patahan geser besar, yaitu pergerakan "pull-apart" yang menyebabkan wilayah negeri kaumnya Nabi Luth terban (amblas/anjlok ke bawah) diikuti "mud vulcano" dari diapir garam yang menimbun negeri tersebut. Akibat dari aktifitas patahan inilah yang menyebabkan terbentuknya Laut Mati, seperti terbentuknya Danau Singkarak di Sumatra. Penegasan kejadian gempa pada waktu subuh sebagai azab terhadap kaum Luth ini, juga dinyatakankan pada ayat sebelumnya (yang artinya) : "Maka pergilah kamu (wahai Luth) di penghujung malam dengan membawa keluargamu, dan ikutilah mereka dari belakang dan janganlah seorangpun di antara kamu menengok ke belakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang diperintahkan kepadamu. Dan Kami telah mewahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu mereka akan ditumpas habis di waktu subuh" (QS Al Hijr 65-66).

Beberapa hari menjelang Pemilu legislatif pada pekan lalu, kebetulan saya dapat giliran siskamling. Sambil berjaga, seperti biasanya kami beberapa orang warga perumahan berkumpul dan bercerita "ngalor-ngidul". Ketika sedang cerita tentang musibah Situ Gintung yang terjadi pada Jum'at pagi (subuh) tanggal 27 Maret lalu, Pak RW yang kebetulan hadir bertanya kepada saya, mengapa banyak bencana (alam) itu terjadi di waktu malam atau pagi, ketika hari masih gelap menjelang matahari terbit, seperti halnya waktu terjadi gempa Jogja tiga tahun lalu ? Maka saya pun menjawabnya bahwa bencana itu biasanya datang ketika manusia dalam keadaan lengah atau lalai. Berkaitan dengan perbuatan, lalai berarti manusia lupa kepada aturan Allah dan seruan utusanNya, sehingga manusia banyak berbuat kerusakan atau kemaksiatan. Berkaitan dengan waktu, lalai berarti manusia dalam kondisi sedang tidak waspada, biasanya terjadi ketika sedang terlena di saat enak-enaknya istirahat/tidur terutama di akhir malam menjelang pagi. Oleh karena itulah mengapa kita dianjurkan banyak mengingat Allah dan agar berdo'a sebelum tidur, sebab siapa tahu kita tidur tetapi tidak bangun lagi untuk selamanya alias meninggal dunia. Nasihat orang bijak (Jawa) mengatakan agar kita senantiasa "eling lan waspodo". Bukankah Rasulullah salallahu alaihi wassalam telah mengajarkan kepada kita berdo'a sebelum tidur dengan kalimat : "Bismika Allahumma ahya, wa bismika amuut (Dengan menyebut asmaMu ya Allah aku hidup, dan dengan menyebut asmaMu pula aku mati)" ? Makna dari kalimat do'a tersebut menyiratkan bahwa tidur adalah kematian untuk sementara. Tidur adalah terlepasnya ruh/jiwa kita untuk sementara dari jasad kita yang masih tetap bernyawa, sampai kita bangun kembali. Sedangkan mati adalah terlepasnya ruh/jiwa untuk selamanya dari jasad yang tidak bernyawa lagi. Hal ini sesuai dengan firman Allah (yang artinya) : "Allah akan mewafatkan pribadi-pribadi (manusia) pada waktu matinya dan yang belum mati pada saat tidurnya; maka Dia tahan (ruh/jiwa orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan kembali (ruh/jiwa orang tidur yang tidak mati) sampai saat yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu merupakan ayat-ayatNya bagi kaum yang berpikir" (QS Az Zumar 42). Meskipun setiap manusia itu sadar atau tidak sadar pasti menemui kematiannya, namun tiada seorangpun yang mengetahui kapan dan dimana serta bagaimana kematiannya itu datang. Oleh karena itulah kita harus selalu mempersiapkan diri sebelum maut menjemput, dengan berusaha mematuhi aturan Allah dan RasulNya. Sehingga ketika Allah memanggil kita untuk menghadapNya pada saat yang tidak kita duga, kita dapat mengakhiri kehidupan dunia ini dengan akhir yang baik (husnul khatimah). Semoga.

Last Updated ( Friday, 29 May 2009 )

http://migas-indonesia.net/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar