Minggu, 10 Januari 2010

Semakin canggih dan mudahnya mendeteksi sumur Migas











News Picture header
c
January 6, 2009

Dunia industri minyak dan gas (migas) mesti berterima kasih kepada L. Palmiere, salah seorang penemu seismograf modern. Berkat alat pendeteksi gempa yang diperkenalkan Palmeire pada 1855 itu, kini eksplorasi migas telah memasuki era baru dengan mengandalkan kemampuan teknologi seismik 3 dimensi (3D) dan 4 dimensi (4D). Teknologi ini merupakan pengembangan dari cara kerja seismograf, yang memancarkan energi dalam bentuk gelombang seismik ke dalam perut bumi. Konon, seismograf sendiri sebenarnya sudah diciptakan dan digunakan ahli ilmu falak kuno dari China, Zhang Heng, pada 132 Masehi untuk mendeteksi gempa.


Terlepas dari catatan sejarah tersebut, pengolahan data seismik 3D dan 4D mulai diandalkan untuk memburu ladang-ladang minyak baru di berbagai belahan dunia. Contoh yang dekat adalah penemuan Blok Cepu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Banyak yang belum tahu bahwa penemuan area yang diperkirakan mengandung 250 juta barrel minyak bumi dan belasan triliun kaki kubik gas bumi tersebut berkat keampuhan teknologi migas paling mutakhir dengan memanfaatkan data seismik 3D dan 4D.

Lalu, bagaimana kecanggihan teknologi ini bisa mencium pusat sumber minyak bumi dan gas?
Menurut Indroyono Soesilo, peneliti di Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, cara kerja seismik 3D dan 4D sebenarnya sederhana saja. Energi dalam bentuk gelombang seismik dikirimkan ke perut bumi. Karena lapisan-lapisan batuan perut bumi memiliki densitas dan karakteristik yang berlainan, gelombang-gelombang seismik yang digelontorkan memantul balik dengan kecepatan berbeda-beda sesuai dengan jenis lapisan batuannya. Pantulan balik gelombang seismik itulah yang lantas direkam, dianalisis, dan diinterpretasikan bentuk lapisan batuan di bawah permukaan. Sejak 1921, cara kerja seismograf ini mulai diterapkan dalam eksplorasi migas. Seiring dengan kemajuan teknologi, bentuk visualisasi merambah ke 2D, 3D, lalu 4D. Tingkat interpretasi lokasi potensi migas pun mendekati level 75 persen. Artinya, dari 10 pengeboran sumur baru, misalnya, bisa ditemukan 6 hingga 7 sumur migas. Di offshore, kapal survei seismik pun tidak lagi membawa satu jalur kabel seismik, tapi sudah menarik 12 hingga 14 kabel seismik. Tidak mengherankan bila akhirnya data yang dihasilkan sangatlah besar, visualisasi begitu tajam, dan penempatan lokasi titik untuk pengeboran bisa semakin terperinci. Kini seismik 4D juga sudah memasukkan komponen ”waktu”. Jadi, suatu wilayah yang pernah disurvei menggunakan 3D disurvei ulang secara 3D lagi. Perbedaan waktu survei pertama dan kedua menghasilkan interpretasi 4D, yakni prediksi arah, kecepatan, dan volume pergerakan migas di bawah tanah. Kabarnya, level kesuksesan bisa mendekati 100 persen!

Menurut ilmuwan Dr. Gareth Evans, dalam tulisannya di situs offshore-technology.com, teknologi 4D sudah lama diterapkan perusahaan-perusahaan migas raksasa. Pada 1995, misalnya, investigasi 4D sudah dilakukan di Gullfaks di Laut Utara, join project antara Statoil-Schlumberger. Sukses di Gullfaks, pemanfaatan teknologi 4D merambah ke sumur Forties, Gannet, Norne, Oseberg, Statfjorda, dan Troll. Kini, raksasa Petrobas dari Brazil juga menggunakan seismik 4D untuk mencari dan menemukan mega-ladang migas baru. Bisa ditengarai bahwa kehadiran Brazil sebagai salah satu produsen migas terbesar di dunia dalam satu dekade ini bisa jadi lantaran kontribusi teknologi 4D.
Selain Petrobas, beberapa pemain raksasa lainnya seperti ExxonMobil, ConocoPhillips, Chevron, dan Total juga sudah lama memanfaatkan ”keajaiban” 4D. Tak terkecuali StatoilHydro, Shell, dan BP. Saat ini, kemampuan 4D pun telah dikembangkan dengan 4D monitoring technologies yang memadukan 4D seismic, 4D gravity, dan 4D CSEM (Controlled Source Electro-Magnetic). (Diolah dari berbagai sumber.


www.offshore-technology.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar